Dero.desa.id - Bagi masyarakat Indonesia pernikahan bukan sekadar pesta meriah, tapi momen sakral penuh makna yang diiringi dengan berbagai tradisi unik. Salah satu dari suku Jawa, tradisi yang tak boleh dilewatkan adalah mantu bubak, sebuah ritual yang dilakukan oleh keluarga yang menikahkan anak pertamanya.
Seperti keluarga Ibu Sutarmi di Dusun Tegal Duwur, Desa Dero, Kecamatan Bringin, yang baru saja menggelar mantu bubak untuk pernikahan anak terakhir mereka, Selasa malam (30/4) malam.
Mbah Sêtu (78), sesepuh yang memimpin acara, menjelaskan bahwa mantu bubak bukan hanya perayaan, tapi ungkapan syukur yang mendalam atas nikmat menikahkan anak.
Tradisi ini wajib dilakukan bagi keluarga yang belum pernah menikahkan anaknya, sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur dan doa untuk kelancaran pernikahan.
Prosesi mantu bubak diawali dengan menyalakan api dan menanak nasi di tungku tradisional. Asap yang mengepul melambangkan doa dan harapan agar pernikahan anak mereka diberkahi kelancaran dan kelimpahan rezeki. Nasi yang dimasak kemudian akan dibagikan kepada para tetangga dan tamu undangan sebagai simbol rasa syukur dan kebersamaan.
Dilanjutkan dengan "nyiarne daringan kebak", yaitu pemberitahuan kepada warga sekitar bahwa "daringan" (tempat penyimpanan beras) telah penuh. Daringan mini ini terbuat dari tanah liat dan diisi dengan berbagai bahan pangan, seperti beras putih, beras kuning, beras ketan, kacang hijau, dan cok bakal. Cokkal bakal adalah wadah dari daun pisang yang dibentuk menyerupai mangkuk dan diisi dengan bunga setaman, kemiri, telur, bawang putih, bawang merah, nasi, cabai, kacang hijau, dan daun sirih.
Setiap bahan yang dimasukkan ke dalam daringan memiliki makna simbolis. Beras putih melambangkan kesucian dan kemakmuran, beras kuning melambangkan kekayaan dan kejayaan, beras ketan melambangkan kekuatan dan keuletan, kacang hijau melambangkan kesuburan dan keturunan, dan cok bakal melambangkan harapan agar sesuatu yang disimpan sedikit demi sedikit akan menjadi simpanan untuk masa depan.
Prosesi nyiarne daringan kebak dilakukan dengan cara mengitari rumah sambil membawa daringan dan melantunkan tembang Jawa. Hal ini dimaksudkan untuk memberitahukan kepada seluruh warga sekitar bahwa keluarga tersebut akan menggelar pernikahan dan mengundang mereka untuk hadir dan memberikan doa restu.
Rangkaian tradisi mantu bubak kemudian ditutup dengan "membuka daringan kebak", di mana seluruh isi daringan dibagikan kepada para saksi dan tamu. Prosesi ini melambangkan doa agar kedua mempelai selalu diberkahi rezeki, kebahagiaan, dan kehidupan rumah tangga yang harmonis.
Mbah Sêtu berharap tradisi mantu bubak ini dapat terus dilestarikan sebagai bagian dari budaya dan nilai luhur masyarakat Ngawi. Tradisi ini bukan hanya ritual, tapi pengingat pentingnya rasa syukur, doa, dan gotong royong dalam kehidupan bermasyarakat.
Selain tradisi mantu bubak, masih banyak tradisi unik lainnya yang menyertai prosesi pernikahan di Ngawi. Tradisi-tradisi ini mencerminkan kekayaan budaya dan nilai-nilai luhur masyarakat Jawa yang diwariskan dari generasi ke generasi. Tradisi-tradisi ini menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat Ngawi dan patut dilestarikan sebagai identitas budaya yang tak ternilai harganya.
Baca Juga Berita Sebelumnya: