Dero.desa.id — Setiap tanggal 10 Zulhijjah, gema takbir berkumandang memenuhi langit nusantara. Umat Islam di seluruh dunia merayakan Idul Adha, hari besar yang identik dengan penyembelihan hewan kurban. Namun, di balik aktivitas fisik dan perayaan lahiriah itu, Idul Adha menyimpan pesan spiritual yang dalam dan relevan sepanjang zaman: tentang keikhlasan, ketundukan, pengorbanan, dan kepedulian sosial.
Idul Adha merujuk pada kisah monumental Nabi Ibrahim AS yang diperintahkan Allah SWT untuk mengorbankan putranya, Ismail AS. Sebuah ujian iman yang luar biasa. Dengan penuh ketundukan, Ibrahim bersedia melaksanakan perintah tersebut, sementara Ismail menerima takdirnya dengan keikhlasan luar biasa. Namun, pada detik terakhir, Allah mengganti Ismail dengan seekor domba sebagai bukti bahwa ujian telah dilalui dengan sempurna.
Makna pengorbanan inilah yang menjadi inti dari perayaan Idul Adha. “Yang diuji bukan sekadar kesiapan berkurban secara fisik, tapi seberapa jauh seseorang siap melepaskan hal yang paling dicintainya demi menaati perintah Tuhan,” ujar Dr. Ahmad Muzakki, pakar tafsir Al-Qur’an dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Di era modern yang serba instan dan individualistis ini, semangat Idul Adha sering kali bergeser. Kurban menjadi sekadar rutinitas tahunan, bahkan tak jarang berujung pada ajang pamer status sosial. Padahal, makna sejatinya adalah menumbuhkan kepekaan sosial dan keberanian untuk berkorban demi kebaikan yang lebih besar.
“Idul Adha adalah momentum untuk merefleksi diri. Apa yang selama ini kita anggap milik kita sejatinya hanyalah titipan. Jika diminta kembali oleh Sang Pemilik, apakah kita siap melepasnya?” tambah Ustaz Hilmi Fauzi, seorang dai muda yang aktif berdakwah di berbagai platform digital.
Selain dimensi spiritual, Idul Adha juga memiliki nilai sosial yang kuat. Melalui ibadah kurban, umat Islam diajarkan untuk berbagi kepada mereka yang kurang mampu. Daging kurban yang dibagikan tidak hanya menjadi sumber gizi, tetapi juga mempererat tali persaudaraan antarumat. Di sinilah letak keunikan Islam sebagai agama yang tidak hanya memerintahkan ibadah vertikal kepada Tuhan, tetapi juga mengajarkan empati dan solidaritas horizontal antarmanusia.
Di berbagai pelosok Indonesia, semangat ini tetap hidup. Di desa-desa maupun kota besar, panitia kurban bekerja keras mengelola dan mendistribusikan hewan kurban secara adil dan merata. Bahkan, tak sedikit masyarakat yang menggalang dana kolektif agar mereka yang kurang mampu juga bisa ikut berkurban. Ini menjadi bukti bahwa nilai-nilai luhur Idul Adha masih tumbuh dalam hati umat.
Idul Adha seharusnya tidak hanya menjadi selebrasi tahunan, tapi momen kontemplasi: sejauh mana kita mampu meneladani keikhlasan Ibrahim dan Ismail dalam kehidupan sehari-hari? Mampukah kita melepaskan ego, menekan kepentingan pribadi, dan berkorban demi kemaslahatan bersama?
Dalam makna yang terdalam, Idul Adha mengajarkan bahwa kemenangan sejati bukan diraih dengan akal dan kekuatan, melainkan dengan tunduk kepada kehendak Ilahi dan peduli kepada sesama. Dan itulah yang membuat Idul Adha tetap relevan, melintasi zaman dan batas-batas geografis.
Baca Juga Berita Sebelumnya: