Dero.desa.id – Di tengah pesatnya arus modernisasi dan kemajuan teknologi di sektor pertanian, sebagian masyarakat Kabupaten Ngawi tetap setia memegang teguh nilai-nilai tradisi leluhur. Salah satu tradisi yang masih hidup dan lestari hingga kini adalah methil atau boyong padi, sebuah ritual syukur yang dilakukan petani sebelum memulai panen padi.
Methil merupakan ritual sederhana namun sarat makna. Berbeda dengan kenduri pada umumnya yang dilakukan di rumah atau balai desa, methil dilakukan langsung di petak sawah masing-masing, tepat di tempat di mana tanaman padi tumbuh dan siap dipanen. Tradisi ini menjadi bentuk ungkapan rasa syukur para petani kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas hasil panen yang melimpah dan bebas dari serangan hama.
Salah satu pelestari tradisi methil adalah Suparman (55), warga Dusun Tegal Duwur, Desa Dero, Kecamatan Bringin, Kabupaten Ngawi. Setiap musim panen tiba, ia tak pernah absen menggelar ritual ini di sawah miliknya. Bersama dengan keluarganya, ia menyiapkan berbagai sajian tradisional seperti nasi putih, ingkung ayam kampung, kerupuk, lauk-pauk, serta daun pisang dan daun jati sebagai alas hidangan. Sebelum doa dipanjatkan, merang dan kemenyan dibakar sebagai simbol permohonan restu dan perlindungan.
Senada dengan Suparman, Kepala Dusun Tegal Duwur, Suparno (42), juga masih rutin menjalankan tradisi methil. Menurutnya, methil bukan sekadar warisan nenek moyang, tetapi juga merupakan bentuk penghormatan terhadap alam dan Sang Pencipta. “Methil adalah cara kami bersyukur, bukan hanya atas hasil panen, tetapi juga atas keselamatan, kesejahteraan, dan ketenteraman hidup,” ujarnya saat ditemui di sawah, Senin pagi (07/7).
Lebih dari sekadar ritual, methil juga memiliki nilai spiritual dan sosial yang tinggi. Tradisi ini mencerminkan kedekatan manusia dengan alam, serta menumbuhkan kesadaran bahwa hasil bumi adalah anugerah yang tidak bisa dipisahkan dari kekuatan ilahi. Tak heran, meskipun zaman terus berubah, tradisi ini masih terus dijaga oleh sebagian petani di Ngawi.
Suparno menambahkan, methil juga menjadi ajang mempererat hubungan antarwarga. Meskipun dilakukan secara pribadi, semangat gotong royong dan kebersamaan tetap terasa. “Kami berharap generasi muda tetap mengenal dan melestarikan tradisi ini. Jangan sampai methil hanya tinggal cerita,” harapnya.
Tradisi methil menjadi bukti bahwa di tengah perubahan zaman, masyarakat pedesaan masih memiliki cara tersendiri untuk menjaga harmoni dengan alam dan spiritualitas. Ia adalah bagian dari kekayaan budaya yang tak ternilai, yang perlu terus dipertahankan sebagai identitas lokal dan sumber kebijaksanaan hidup.
Dengan semangat pelestarian dan kesadaran budaya yang tinggi, tradisi methil di Desa Dero menunjukkan bahwa warisan leluhur bukanlah beban masa lalu, melainkan jembatan menuju masa depan yang lebih berakar dan bermakna.
Baca Juga Berita Sebelumnya: