Dero.desa.id – Gemuruh takbir Idul Fitri telah usai, namun kehangatan silaturahmi dan tradisi unik masyarakat Indonesia justru kian terasa. Ya, inilah saatnya halal bihalal, sebuah ritual tahunan yang tak lekang dimakan zaman. Lebih dari sekadar kunjungan dan saling bermaafan, halal bihalal menyimpan cerita dan makna mendalam yang menjadikannya perekat persaudaraan khas Nusantara.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), halal bihalal didefinisikan sebagai momen saling maaf-memaafkan usai Ramadan, yang biasanya digelar dalam sebuah pertemuan besar. Namun, tahukah Anda dari mana istilah unik ini berasal?
Misteri di Balik Kata: Bukan Sekadar Terjemahan Bahasa Arab
Meskipun terdengar seperti serapan dari bahasa Arab, faktanya istilah "halal bihalal" justru eksklusif milik Indonesia. Di tanah Arab sendiri, istilah ini tak dikenal. Lantas, apa sebenarnya arti di baliknya?
Jika ditelisik dari akar katanya, "halal" dalam bahasa Arab memiliki beragam makna, mulai dari terurainya benang kusut, mengendapnya air keruh, hingga menjadi halalnya sesuatu. Dari sinilah kemudian ditarik benang merah bahwa halal bihalal melambangkan upaya untuk menghalalkan kembali segala kekusutan, kekeruhan, dan kesalahan yang mungkin terjadi antar sesama. Ibarat benang kusut yang kembali terurai, hubungan antar individu diharapkan kembali jernih dan harmonis.
Jejak Sejarah yang Tak Terduga: Dari Martabak hingga Meja Istana
Lantas, bagaimana tradisi unik ini bisa mengakar kuat di Indonesia? Sebuah kisah menarik menyebutkan bahwa istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh seorang pedagang martabak asal India di Solo pada era 1930-an. Kala itu, sang pedagang menggunakan frasa "martabak Malabar, halal bin halal" untuk menarik pelanggan di tengah keramaian malam Ramadan.
Namun, versi lain yang lebih kuat mengaitkan kemunculan halal bihalal dengan inisiatif tokoh Nahdlatul Ulama (NU), KH Abdul Wahab Hasbullah pada tahun 1948. Di tengah gejolak politik pasca kemerdekaan, KH Wahab melihat pentingnya persatuan antar-elite bangsa. Beliau kemudian mengusulkan kepada Presiden Soekarno untuk mengadakan acara silaturahmi bertajuk "Halalbihalal" pada Hari Raya Idul Fitri.
Gayung bersambut, Soekarno mengundang seluruh tokoh politik untuk hadir di Istana Negara. Momen bersejarah itu menjadi ajang saling memaafkan dan menghalalkan segala perbedaan, meletakkan fondasi persatuan bangsa yang lebih kokoh.
Hingga kini, tradisi halal bihalal terus lestari di seluruh penjuru Indonesia. Bukan hanya di kalangan tokoh politik, namun juga merambah ke berbagai lapisan masyarakat, dari keluarga besar, rekan kerja, hingga organisasi. Lebih dari sekadar formalitas, halal bihalal menjadi momentum penting untuk merajut kembali tali silaturahmi, menghapus dendam, dan mempererat persaudaraan. Sebuah tradisi unik yang patut dijaga dan dilestarikan sebagai warisan budaya bangsa.
Baca Juga Berita Sebelumnya: