Dero.desa.id - Tedhak Siten merupakan rangkaian prosesi adat tradisi daur hidup masyarakat jawa yang mulai jarang dilaksanakan. Tedhak Siten berasal dari kata Tedhak berarti turun (menapakkan kaki) dan Siten atau Siti yang artinya tanah, sehingga Tedhak Siten merupakan tradisi menginjakkan atau menapakkan kaki ke tanah bagi seorang anak. Menurut Murniatmo, Tedhak Siten merupakan upacara pada saat anak turun tanah untuk pertama kali, atau disebut juga mudhun lemah atau unduhan, masyarakat beranggapan bahwa tanah mempunyai kekuatan gaib. Upacara Tedhak Siten berlangsung saat anak berusia 7 lapan kalendar jawa atau 8 bulan kalender masehi. Dalam usia tersebut biasanya anak mulai memasuki masa belajar berjalan sehingga inilah momen awal anak mulai menapakkan kakinya ke tanah.
Tradisi Tedhak Siten selain sebagai kegiatan pelestarian budaya tetapi juga merupakan serangkaian kegiatan yang menyimbolkan bimbingan orang tua kepada anaknya dalam meniti kehidupan melalui serangkaian prosesi dan ubarampe yang digunakan. Dalam kegiatan Tedhak Siten perlu dipersiapkan Uba Rampe atau perlengkapan, di antaranya yaitu, jadah 7 (Tujuh) warna warni, tangga yang terbuat dari tebu, kurungan (biasanya berbentuk seperti kurungan ayam) yang diisi dengan barang/benda, alat tulis, mainan dalam berbagai bentuk, air untuk membasuh dan memandikan anak, ayam panggang, pisang raja, udhik-udhik, jajan pasar, berbagai jenis jenang-jenangan, tumpeng lengkap dengan gudangan dan nasi kuning
Selama proses tradisi Tedhak Siten ini ada beberapa rangkaian kegiatan yang perlu dilakukan, yakni:
Dalam proses ini orang tua menggendong anaknya untuk dicuci bersih kakinya sebelum menginjakkan kaki anak ke tanah, kegiatan ini mempunyai makna bahwa si anak mulai menapaki tanah, yang berarti mulai menapaki kehidupan yang perlu dilakukan dengan suci hati.
2. Berjalan melewati tujuh jadah
Dalam kegiatan ini anak dituntun untuk berjalan di atas jadah (sejenis kue dari beras ketan) sebanyak tujuh buah, dengan warna yang berbeda-beda. Ke Tujuh warna tersebut adalah merah, putih, hijau, kuning, biru, merah jambu, dan ungu. Tujuh dalam bahasa jawa disebut pitu, dengan harapan si anak kelak dalam mengatasi kesulitan hidup selalu mendapat pitulungan atau pertolongan dari Yang Maha Kuasa.
Jadah dibuat beraneka warna, menggambarkan bahwa kesulitan dan rintangan hidup itu tak terhitung jenis dan ragamnya. Masing-masing warna memiliki makna tersendiri, yaitu:
Dengan menapaki jadah 7 warna ini, diharapkan kelak si bayi mampu melewati tiap rintangan dalam hidupnya.
3. Tangga dari Tebu Wulung
Dalam Prosesi ini anak diajak orang tua untuk menaiki 7 (Tujuh) tangga yang terbuat dari batang tebu. Tebu berasal dari kata antebing kalbu yang berarti penuh tekad dan rasa percaya diri. Ritual ini menggambarkan bahwa bayi akan menghadapi perjalanan hidupnya hari demi hari sampai pada puncaknya. Dalam kegiatan ini didampingi oleh orang tua si anak, hal ini menggambarkan dukungan keluarga untuk anak dalam menjalani hari-harinya ke depan. Ritual ini mempunyai harapan agar kelak si bayi tidak mudah menyerah dalam meraih cita-citanya.
4. Kurungan
Dalam prosesi ini anak dimasukkan sangkar atau kurungan ayam. Di dalam kurungan, terdapat berbagai benda seperti perhiasan, buku tulis, beras, mainan, dan lain sebagainya. Kurungan ayam ini menggambarkan kehidupan nyata yang akan dimasuki oleh anak kelak jika dewasa. Benda yang ada di dalam kurungan nantinya akan diambil oleh anak menggambarkan profesi yang ingin dijalani kelak jika sudah dewasa.
5. Memandikan Anak
Air yang digunakan merupakan air yang diambil oleh kedua orang tua dari si anak yang diambil pada waktu tertentu yakni pada malam hari sekitar pukul 10-12 malam yang kemudian didiamkan atau diembunkan sampai keesokan harinya terkena sinar matahari. Dalam proses ini, anak dimandikan oleh orang tuanya dengan air yang diberi bunga. Maknanya adalah agar kelak si bayi dapat mengharumkan keluarga dan dirinya. Maksudnya, supaya ia bisa jadi anak yang membanggakan. Setelah dimandikan, kemudian anak diberi pakaian.
6. Memberikan udhik-udhik
Udhik-udhik, yaitu uang logam yang dicampur dengan bermacam-macam bunga. Dalam prosesi ini udhik-udhik disebar dan dibagikan kepada anak-anak dan orang dewasa yang hadir dalam acara tersebut. Harapannya kelak agar si anak jika dikarunia rezeki cukup dapat mendermakan rezekinya kepada fakir miskin.
Dalam prosesinya terdapat beberapa perbedaan dalam pelaksanaan tradisi Tedhak Siten baik berupa prosesi, tata cara, maupun perlalatan yang digunakan antara satu daerah dengan daerah yang lainnya akan tetapi tetap tidak menghilangkan maksud dan tujuan dari diadakannya tradisi tersebut.
Sumber Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta
Baca Juga Berita Sebelumnya: